Strategi Imitasi Produk

Strategi Pemasaran Imitasi juga dikenal dengan Strategi Pemasaran Kamuflase (camouflage marketing).

Strategi ini sering dilakukan pemasar untuk membingungkan konsumen dan pada akhirnya konsumen akan melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

Strategi imitasi produk barangkali dapat menjadi strategi yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan strategi inovasi yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan waktu yang lebih lama. Hal inilah yang membuat follower memilih untuk menjalankan strategi imitasi.

Masih segar dalam ingatan kita era motcin alias sepeda motor made in China belasan tahun lalu? Desain serupa ternama dengan jauh lebih murah, membuatnya booming di berbagai kota di Indonesia. Walau mereknya plesetan dan kualitas produk ala kadarnya.
Itu belasan tahun lalu. Masa ketika industri otomotif Tiongkok sedang dalam tahap cuma bisa meniru/mencontek dan laku keras di negeri yang ekonominya tumbuh pesat. Bahkan yang sebagian masih berupa home industri beranikan diri menjajal peruntungan di pasar seberang lautan.
Satu dekade terakhir situasi mulai berubah, industri otomotif Tiongkok sudah melompat jauh ke depan. Sedemikian jauh dan tinggi lompatannya, sehingga membuat dunia terngaga. Dukungan insentif dari pemerintah dan strategi pemasaran yang agresif, membuat gelisah produsen mapan asal Eropa dan Amerika Serikat.

Honda, Mercedes-Benz, Land Rover dan Porsche pernah jadi korban praktek plagiat khas industri otomotif Tiongkok. Desain produk unggulan mereka dijiplak mentah-mentah lalu ditempel merek plesetan, contohnya Land Rover yang menjadi Land Wind, Honda CR-V tetapi menyandang merek Shonghuan.



Strategi Imitasi adalah strategi yang meniru strategi perusahaan lain. Dalam buku Managing Imitation strategy,  Steven P. Schnaar menggolongkan strategi imitasi menjad 4 Jenis.
1.    Strategi Pembajakan
       Prusahaan yang menjalankan strategi imitasi semacam ini menjual produk dengan merek
       dan desain produk yang benar-benar sama sehingga sering disebut dengan produk palsu.
       Strategi ini sudah digolongkan dengan kegiatan illegal.
2.    Strategi Kloning
       Prusahaan yang menggunakan strategi ini umumnya benar-benar meniru produk yang
       telah ada, tetapi dengan merek lain. Misalnya dalam bidang mainan anak-anak, Tyco Toys
       mengeluarkan produk super blokcs yang meniru lego. Lego menuntut tyco toys, tetapi tidak
       berhasil, karena lego sesungguhnya juga meniru mainan yang pernah ada tahun 1940-an
       di Inggris.
3.    Strategi Meniru Desain (Trade dress)
       Mislnya: Adidas di tiru dengan Adidus. Pada Adidas, lambang daunya berjumlah tiga,
       sedangkan pada adidus berjumlah dua.
4.    Strategi Adaptasi Kreatif
       Yaitu meniru produk yang sudah ada kemudian mengembangkan atau mengadaptasi
       untuk  diterapkan pada lingkungan yang baru.

Menurut Theodore Levitt, peniru ini disebut innovative imitator. Strategi ini juga disebut sebagai strategi kamuflase atau strategi penyamaran.

Bagi perusahaan besar, menggunakan strategi imitasi hanya dipakai untuk jangka pendek, misalnya Toyota Lexus bersaing dengan BMW dan Wings bersaing dengan Rinso. Adapun perusahaan keccil seringkali di jadikan strategi permanen.




Merek-merek kecil pada umumnya Berjaya ketika memasuki pasar atau daerah yang tidak terjangkau oleh merek-merek besar. Strategi ini cocok digunakan untuk  target pasar yang lebih rendah. Dengan memilih target pasar yang lebih rendah, strategi harganya juga lebih rendah dibandingkan dengan merek prusahaan yang ditiru.

Strategi imitasi tidak saja dilakukan dalam konteks produk, tetapi juga dalam strategi promosi dan distribusi. Namun demikian, strategi imitasi ini biasanya hanya dipakai pada saat awal-awal saja kalau menginginkan meraih kesuksesan dalam jangka panjang. Dalam strategi pemasaran, strategi positioning merupakan strategi yang menempatkan produk agar memiliki posisi yang baik di benak konsumen. Dengan demikian, kalau prusahaan tetap memakai strategi ini untuk jangka panjang, ia hanya akan menjadi pengikut, tanpa pernah menjadi prusahaan nomor satu atau market leader.

Dalam pemasaran, para pemasar dari produk follower menggunakan istilah yang sama dengan produk market leader untuk menyamarkan produk mereka dengan lingkungan sekitar, terutama ketika bertarung di pasar modern. Sehingga apabila produk market leader telah memiliki banyak rak di retailer-retailer, maka sang follower akan memiliki kesempatan untuk menyamarkan produk mereka.
Ada beberapa kejadian yang diharapkan dari para follower dengan melakukan marketing imitasi ini yaitu:
Adanya harapan bahwa konsumen salah dalam membeli produk. Contohnya adalah banyaknya taxi (cab) yang berwarna dan berlogo mirip sekali dengan taxi Blue Bird.
1. Adanya harapan, konsumen akan melakukan perbandingan harga sebelum melakukan
    pembelian. Packaging yang mirip dapat menciptakan persepsi bahwa isinya sama dalam
    soal rasa dan kualitas. Konsumen yang price sensitive kemudian akan memilih produk
    follower  karena umumnya follower menawarkan harga yang lebih rendah.
2. Adanya harapan bahwa konsumen akan berpikir bahwa produk follower adalah turunan
    atau masih satu ‘saudara’ dengan merek lain, hal ini mengingat biasanya perusahaan
    memiliki warna korporat tertentuyang secara konsiten diterapkan pada setiap merek mreka
    dan turunannya.
3. Keuntungan yang diperoleh follower dengan melakukan marketing kamuflase ini adalah
    terjadinya pembentukan awareness terutama jika produk tersebut menggunakan merek
    atau kemasan yang mirip-mirip atau dimirip-miripkan.

Kebingungan konsumen memang menjadi alasan yang paling utama dari marketing kamuflase. Itu sebabnya imitasi/kamuflase sering dikatakan sebagai strategi merek yang kurang percaya diri. Biasanya kamuflase dilakukan oleh merek-merek yang tidak memiliki biaya promosi yang besar atau bahkan tidak melakukan promosi sama sekali. Mereka lebih berharap mereknya dapat menempel pada merek lain di pasaran.

Disamping adanya keuntungan, setidaknya ada 2 (dua) alasan mengapa orang melakukan marketing kamuflase menurut Steven Schnaars (2002), yaitu:
1. Playing Catch Up, mengejar ketertinggalan, karena gagal menemukan produk baru yang
    inovatif sehingga membuat produk dari produsen lain yang dianggap lebih menguntungkan.
2. Watchful Waiting, adanya kesempatan untuk memasukan produk mereka ke pasar.

Contoh lainnya, Pada tahun 2012, Snapchat mengeluarkan fitur my story. Dalam sekejap, jumlah pengguna Snapchat naik drastis. Masa kejayaannya terhenti manakala Instagram mengeluarkan fitur Instagram Stories atau yang lebih dikenal dengan IG Story.

Dalam sekejap, Instagram mampu mengalahkan Snapchat. Menurut laporan TechCrunch, jumlah Daily active user (DAU) Instagram melonjak tinggi menjadi 250 juta warganet, mengalahkan Snapchat yang hanya 166 juta warganet.



Dibalik kesuksesannya, fitur IG Story sejatinya mirip dengan fitur my story dari Snapchat. Langkah Instagram dalam mencontek fitur Snapchat telah menjadi hal umum dalam persaingan bisnis masa kini. Sudah banyak perusahaan top dunia juga melakukan langkah serupa demi mengalahkan pesaingnya dan meraup untung.

Namun ternyata bukan hanya follower saja yang melakukan marketing kamuflase. Market leader pun dapat terpancing untuk melakukan strategi yang sama, terutama apabila mereka (market leader) kurang percaya diri menghadapi kompetitor atau pendatang baru. Sehingga akhirnya terjadi fighting brand.

Kasus yang sering dijadikan contoh adalah perseteruan antara Super mie Sedaaap (Indofood) dengan Mie Sedaap (Wings). Disini Indofood sebagai market leader mie instant dalam kemasan, merasa perlu melakukan kamuflase pada salah satu produknya yaitu super mie untuk menghambat sepak terjang pendatang baru yang ‘mengusik’ keberadaan Indofood sebagai market leader. Apabila kita coba lihat ke belakang, keberadaan Mie Sedaap juga pada awalnya adalah kamuflase pada kemasan mereka menyerupai kemasan Indo mie.

Marketing imitasi/kamuflase bukan tanpa resiko. Resiko yang dapat dialami oleh follower imitasi adalah bahwa setiap tindakan promosi yang dilakukan follower justru hanya akan meningkatkan awareness dan penjualan market leader.

Penutup

Persaingan bisnis yang semakin pesat memaksa perusahaan untuk menciptakan strategi pemasaran untuk menarik perhatian konsumen yang pada akhirnya konsumen akan memutuskan untuk membeli produk tersebut.

Marketing imitasi atau kamuflase merupakan salah satu strategi yang secara sadar ataupun tidak telah dilakukan oleh para pemasar di seluruh dunia. Strategi ini berada pada wilayah abu-abu (grey area) dalam koridor hukum, karena belum ada satupun pelaku marketing imitasi ini yang dinyatakan bersalah secara hukum. Koridor yang paling mungkin dilakukan hanyalah etika pemasar dalam mengambil strategi pemasarannya.




Mariyudi.id
Mariyudi.id mariyudi.id adalah portal yag menyajikan aktivitas menarik di bidang manajemen strategi, manajemen pemasaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat

1 komentar

  1. Maftuh ihsan
    170420138

    Bagus sekali videonya Pak
    Editing Dan Cara menjelaskannyaa
    Template nya Juga bagus yg bapak pakai

    BalasHapus