KAMPUS MERDEKA?

Kampus Merdeka

Berbagai upaya meningkatkan kualitas SDM terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. 
Upaya tersebut terus dilakukan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan kerja-kerja nyata, salah satu upaya revolusioner diwujudkan dengan mencanangkan reformasi sistem pendidikan Indonesia melalui kebijakan Merdeka Belajar dengan tujuan untuk memberikan kemerdekaan setiap unit pendidikan untuk melakukan inovasi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyatakan bahwa  konsep ini harus dapat menyesuaikan dengan kondisi di mana proses belajar mengajar berjalan, baik sisi budaya, kearifan lokal, sosio-ekonomi maupun infrastruktur, tidak bisa hanya berpatokan pada angka-angka seperti PISA, sehingga membuat suatu sistem yang tidak memberikan ruang inovasi.

Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu. Mendikbud membuat kebijakan merdeka belajar bukan tanpa alasan. Pasalnya, penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil penilaian pada siswa untuk bidang matematika dan literasi Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah, posisi ke-74 dari 79 Negara.

Kebijakan Merdeka Belajar digulirkan dalam 3 episode:

Episode 1, Program " Merdeka Belajar" diluncurkan pada 11 Desember 2019 yang memperkenalkan empat program pembelajaran nasional. Diantaranya: USBN diganti ujian (asesmen), UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, RPP dipersingkat, dan Zonasi PPDB lebih fleksibel.

Episode 2, Program "Kampus Merdeka" diluncurkan pada 24 Januari 2020 yang mengusung empat kebijakan di lingkup perguruan tinggi. Meliputi: Sistem akreditasi perguruan tinggi, Hak belajar tiga semester di luar prodi, Pembukaan prodi baru, dan emudahan menjadi PTN-BH.

Episode 3, Merombak skema penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diluncurkan pada 10 Februari 2020.

Paradigma berfikir negatif pun bermunculan ke permukaan. Komentar miring publik terhadap Program ‘Merdeka Belajar’ ala Nadiem mengemuka seakan program tersebut setengah jadi yang dipaksakan demi menjawab keraguan publik tentang dirinya sebagai Mendikbud. 
Merdeka Belajar juga dianggap mentransformasikan pendidikan dari pengajaran ke pembelajaran yang mendistribusikan beban belajar pada guru, siswa, bahkan orangtua.

Kritikan lainnya menganggap Program tersebut belum fundamental yang hanya merombaknya secara administratif dan teknis saja bahkan tak jauh berbeda dengan program Mendikbud sebelumnya. Demikian juga, Siswa merdeka dapat memilih “menu” mata pelajaran yang disukai yang menjadi passion-nya yang berarti Merdeka Belajar mentransformasikan pendidikan keseragaman menuju pendidikan keberagaman.

Dan yang lebih ekstrim menyimpulkan Belajar Merdeka ialah orang yang sedikit banyak alam pikirannya masih terjajah, belum merdeka sepenuhnya, baru belajar untuk merdeka.

Lalu bagaimana dengan KAMPUS MERDEKA?

Menurut Mendikbud, kebijakan Kampus Merdeka merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar yang pelaksanaannya paling memungkinkan untuk segera dilangsungkan. "Potensi kita kalau bisa meningkatkan kualitas perguruan tinggi kita, terutama S1 di mana kebanyakan mahasiswa kita itu S1. Ini adalah cara tercepat untuk membangun SDM unggul".

Beliau menambahkan bahwa menilai pembelajaran di luar program studi Sarjana Satu (S-1) selama tiga semester akan mendorong mahasiswa lebih adaptif untuk menghadapi masa depan.

Kebijakan pertama dari KAMPUS MERDEKA adalah otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru. Otonomi ini diberikan jika PTN dan PTS tersebut memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. Demikain juga seluruh prodi baru akan otomatis mendapatkan akreditasi C. 

Dalam kebijakan Kampus Merdeka, mahasiswa diberikan hak belajar tiga semester di luar prodi. Penyetaraan kegiatan pembelajaran di luar program studi nantinya selama tiga semester atau setara 60 sks. 

Perguruan tinggi juga wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela, jadi mahasiswa boleh mengambil ataupun tidak SKS di luar kampusnya sebanyak dua semester atau setara dengan 40 SKS. Mahasiswa dapat mengambil SKS di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh.

Pembebasan kegiatan pembelajaran mahasiswa di luar prodi bersifat pilihan. Bila tak ingin mengambil pembelajaran di luar prodi, mahasiswa juga bisa belajar hanya di prodi yang diambil.

Nadiem menilai saat ini bobot SKS untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas sangat kecil dan tidak mendorong mahasiswa untuk mencari pengalaman baru, terlebih di banyak kampus, pertukaran pelajar atau praktik kerja justru menunda kelulusan mahasiswa.

Dalam kebijakan KAMPUS MERDEKA, terdapat perubahan pengertian mengenai SKS. Setiap SKS diartikan sebagai 'jam kegiatan', bukan lagi 'jam belajar'. Kegiatan di sini berarti belajar di kelas, magang atau praktik kerja di industri atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil.

Paket kebijakan Kampus Merdeka ini menjadi langkah awal dari rangkaian kebijakan untuk perguruan tinggi untuk melepaskan belenggu agar lebih mudah bergerak, karena pendidikan kita masih belum menyentuh aspek kualitas. Perguruan tinggi diberikan beberapa pilihan matriks untuk dapat mencapai targetnya.

Sepintas, program-program tersebut terlihat sangat menarik. Tampak bahwa pekerjaan semakin mudah didapatkan, dengan jangka waktu pendidikan yang lebih singkat. Namun, jika ditelisik lebih jauh maka terlihat jelas bahwa bebasnya kampus menjadi PTN-BH adalah bukti lepas tangannya negara terhadap perguruan tinggi. 

Pembukaan program studi baru dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pasar atau dengan kata lain, mahasiswa hanya dipersiapkan untuk kepentingan industri. Kurikulum bebas ditentukan bersama industri dan asing, kuliah ditempuh dengan magang di industri. 

Semua ini adalah bukti bahwa negara lepas tangan dari pembiayaan Perguruan Tinggi sekaligus menyesatkan orientasi PT yang seyogianya menjadi penghasil intelektual. Juga tulang punggung perubahan menuju kemajuan dan menyelesaikan masalah masyarakat dengan ilmu dan inovasinya bagi kepentingan publik, menjadi pencetak SDM dengan mental pekerja.

Para intelektual harusnya dibentuk menjadi SDM yang berkualitas pemimpin. Namun, melalui program ini, pendidikan hanya berorientasi pada keuntungan materi sesuai kebutuhan pasar, yang menjadikan SDM hanya berkualitas pekerja, bukan pemimpin.

Cita-cita menjadi bangsa yang besar, mandiri, kuat dan terdepan, tentu saja tidak akan tercapai dengan mempertahankan sistem pendidikan yang berlaku saat ini, melainkan harus diubah menjadi sistem pendidikan yang mampu mencetak intelektual berkualias pemimpin, bukan pekerja.

Dalam pendidikan tinggi, ada karakter khusus dalam penyelenggaraannya, yang bertujuan untuk: penancapan profil kepribadian secara intensif agar mahasiswa dapat menjadi pemimpin dalam mengatasi masalah mendasar dan krusial masyarakat, dan persoalan umum yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. 

Mencetak pemimpin yang berkepribadian, kompeten, dan siap pakai. Menghasilkan pemimpin sekaligus ilmuwan dan para ahli di berbagai bidang. Mempersiapkan lulusan yang akan menjadi pelaksana praktis dan pengelola urusan masyarakat.

Hakikatnya, pendidikan tinggi juga diselenggarakan untuk tujuan menghasilkan peneliti yang mampu melakukan inovasi diberbagai bidang yang memungkinkan mereka mengelola hidupnya secara mandiri. Di samping itu, pendidikan tinggi juga bertujuan membangun ketahan negara dari ancaman disintegrasi dan berbagai ancaman lain dari luar negeri.

Permasalahan teknologi pendukung juga patut diperhitungkan. 
Keberagaman pendekatan yang ada diharapkan dapat menghasilkan berbagai macam teknik dan inovasi di setiap daerah, kampus, dan mahasiswa. Semua itu hanya bisa dilakukan hanya dengan dukungan teknologi. Merdeka Belajar tidak akan mungkin bisa berhasil tanpa teknologi.

Kepedulian akan pentingnya pemerataan akses, khususnya jaringan internet dan listrik mestinya menjadi perhatian berbagai pihak. Konektivitas internet, kemampuan membayar data, dan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi harus menjadi perhatian utama para pemangku kepentingan agar potensi akselerasi kebijakan MERDEKA BELAJAR dapat terwujud.

Terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangannya, Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unimal bertekad untuk menyahuti kebijakan Mas Menteri dengan berupaya secepatmungkin untuk menyusun Kurikulum Merdeka dengan menggali potensi terbesar para tenaga pengajar dan mahasiswa untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. 

Mandiri bukan hanya mengikuti proses birokrasi pendidikan, tetapi benar-benar inovasi pendidikan.

Selamat bereksperimen!.

Mariyudi.id
Mariyudi.id mariyudi.id adalah portal yag menyajikan aktivitas menarik di bidang manajemen strategi, manajemen pemasaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat

Posting Komentar